Pengangkatan Jenazah dari Lubang Buaya |
Mengangkat jenazah tujuh pahlawan revolusi di Lubang Buaya bukan perkara gampang. Kondisi sumur yang dalam dan mayat yang mulai membusuk, membuat evakuasi sulit dilakukan.
Tapi para prajurit Kompi Intai Amfibi Korps Komando Angkatan Laut (KIPAM KKO-AL), tak mau menyerah.
Sebenarnya jenazah sudah ditemukan sejak sehari sebelumnya, yaitu pada tanggal 3 Oktober 1965, atas bantuan polisi Sukitman dan masyarakat sekitar.
Peleton I RPKAD yang dipimpin Letnan Sintong Panjaitan segera melakukan penggalian.
Tapi mereka tak mampu mengangkat jenazah karena bau yang menyengat.
Jenderal Soeharto pun memerintahkan kepada pasukan evakuasi bahwa penggalian dihentikan pada malam hari.
Maka penggalian pun ditunda dan penggalian akan kembali dilanjutkan keesokan harinya.
Dalam buku Sintong Panjaitan, "Perjalanan Seorang Prajurit Para Komando" yang ditulis wartawan senior Hendro Subroto, dilukiskan peristiwa seputar pengangkatan jenazah.
Kala itu Sintong berdiskusi dengan Kopral Anang, anggota RPKAD yang dilatih oleh Pasukan Katak TNI AL.
Anang mengatakan peralatan selam milik RPKAD ada di Cilacap, hanya KKO yang punya peralatan selam di Jakarta.
Maka singkat cerita, KKO meminjamkan peralatan selam tersebut untuk operasi pengangkatan jenazah dari dalam lubang sumur di daerah lubang buaya tersebut.
Tanggal 4 Oktober, Tim KKO dipimpin oleh Komandan KIPAM KKO-AL Kapten Winanto melakukan evakuasi jenazah pahlawan revolusi. Satu persatu pasukan KKO turun ke dalam lubang yang sempit itu.
Pukul 12.05 WIB, anggota RPKAD Kopral Anang turun lebih dulu ke Lubang Buaya. Dia mengenakan masker dan tabung oksigen. Anang mengikatkan tali pada salah satu jenazah. Setelah ditarik, yang pertama adalah jenazah Lettu Pierre Tendean, ajudan Jenderal Nasution.
Pukul 12.15 WIB, Serma KKO Suparimin turun, dia memasang tali pada salah satu jenazah, tapi rupanya jenazah itu tertindih jenazah lain sehingga tak bisa ditarik.
Pukul 12.30 WIB, giliran Prako KKO Subekti yang turun. Dua jenazah berhasil ditarik, Mayjen S Parman dan Mayjen Suprapto.
Pukul 12.55 WIB, Kopral KKO Hartono memasang tali untuk mengangkat jenazah Mayjen MT Haryono dan Brigjen Sutoyo.
Pukul 13.30 WIB, Serma KKO Suparimin turun untuk kedua kalinya. Dia berhasil mengangkat jenazah Letjen Ahmad Yani. Dengan demikian, sudah enam jenazah pahlawan revolusi yang ditemukan.
Sebagai langkah terakhir, harus ada seorang lagi yang turun ke sumur untuk mengecek apakah sumur sudah benar-benar kosong.
Tapi semua penyelam KKO dan RPKAD sudah tak ada lagi yang mampu masuk lagi. Mereka semua kelelahan.
Bahkan ada yang keracunan bau busuk hingga terus muntah-muntah.
Maka Kapten Winanto sebagai komandan terpanggil melakukan pekerjaan terakhir itu. Dia turun dengan membawa alat penerangan.
Ternyata benar, di dalam sumur masih ada satu jenazah lagi. Jenazah itu adalah Brigjen D.I. Panjaitan.
Dengan demikian lengkaplah sudah jenazah enam jenderal dan satu perwira pertama TNI AD yang dinyatakan telah hilang diculik Gerakan PKI pada tanggal 30 September 1965.
Kapten KKO Winanto sendiri terus melanjutkan karirnya di TNI AL. Kapten Winanto terakhir berpangkat Mayor Jenderal KKO (Purn).
Ia lahir di Solo, Jawa Tengah pada tanggal 6 Maret 1935. Tentara lulusan Akademi Angkatan laut tahun 1959 ini pernah menjabat Komandan Resimen Latihan Korps Marinir, Komandan Brigade Infanteri 2/Marinir sebelum pensiun sebagai Gubernur AAL.
Ia meninggal pada Minggu, 2 September 2012 pukul 22.15 WIB dalam usia 77 tahun di kediamannya Jl Pramuka no 7, Kompleks TNI AL, Jakarta Pusat. Jenazahnya dimakamkan dengan upacara militer di San Diego Hills, Karawang, Jawa Barat.
Kronologi Visum et Epertum Dokter Forensik
4 Oktober 1965. Pukul 4.30 sore saat itu. Lima dokter yang diperintahkan Pangkostrad dan Pangkopkamtib Mayor Jenderal Soeharto memulai tugas mereka.
Jenazah enam Jenderal dan satu perwira menengah korban penculikan dan pembunuhnan yang dilakukan kelompok Letkol Untung pada dinihari 1 Oktober mereka periksa satu persatu. Ketujuh korban itu adalah:
1. Ahmad Yani, Letnan Jenderal (Menteri Panglima Angkatan Darat).
2. R. Soeprapto, Mayor Jenderal. (Deputi II Menpangad).
3. MT. Harjono, Mayor Jenderal. (Deputi III Menpangad).
4. S. Parman, Mayor Jenderal. (Asisten I Menpangad).
5. D. Isac Panjaitan, Brigardir Jenderal. (Deputi IV Menpangad).
6. Soetojo Siswomihardjo, Brigardir Jenderal. (Oditur Jenderal/ Inspektur Kehakiman AD).
7. Pierre Andreas Tendean, Letnan Satu. (Ajudan Menko Hankam/ KASAB Jenderal AH Nasution).
Jenazah enam jenderal dan satu perwira muda Angkatan Darat ini ditemukan di sebuah sumur tua di desa Lubang Buaya, Pondokgede, Jakarta Timur. Dari lima anggota tim dokter yang mengautopsi ketujuh mayat itu dua di antaranya adalah dokter Angkatan Darat, yakni:
1. dr. Brigardir Jenderal Roebiono Kertopati (perwira tinggi yang diperbantukan di RSP Angkatan Darat)
2. dr. Kolonel Frans Pattiasina (perwira kesehatan RSP Angkatan Darat)
Sementara tiga lainnya adalah dokter Kehakiman, masing-masing:
3. Prof. dr. Sutomo Tjokronegoro (ahli Ilmu Urai Sakit Dalam dan ahli Kedokteran Kehakiman, juga profesor di FK UI)
4. dr. Liauw Yan Siang (lektor dalam Ilmu Kedokteran Kehakiman FK UI)
5. dr. Liem Joe Thay (atau dikenal sebagai dr. Arief Budianto, lektor Ilmu Kedokteran Kehakiman Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (FK-UI), Akhirnya lewat tengah malam,
pukul 12.30 atau dinihari pada tanggal 5 Oktober 1965, dr. Roebiono dkk menyelesaikan tugas mereka.
Beberapa jam kemudian, saat matahari sudah cukup tinggi, ketujuh jenazah korban penculikan dan pembunuhan yang kemudian disebut sebagai Pahlawan Revolusi ini, dimakamkan di TMP Kalibata.
sumber : rakalive1
Silahkan di share