AR Baswedan, Kakek Anies Baswedan Pembawa Surat Pengakuan Kemerdekaan Indonesia

Mesir, 10 Juni 1947.

PERINTAH WAKIL MENTERI LUAR NEGERI KH. AGUS SALIM KEPADA ABDURRAHMAN BASWEDAN, MENTERI MUDA PENERANGAN REPUBLIK INDONESIA:
“BASWEDAN, BAGI SAYA TIDAKLAH PENTING APAKAH SAUDARA SAMPAI DI TANAH AIR ATAU TIDAK. YANG PENTING DOKUMEN INI HARUS SAMPAI DI INDONESIA DENGAN SELAMAT…!”

Itulah perintah tegas Agus Salim kepada AR Baswedan. Bahwa dokumen penting yang menjadi tanggung jawabnya itu, jauh lebih penting dari nyawa orang yang membawanya.

Selembar dokumen maha penting itu berhasil didapat setelah delegasi Indonesia selama berminggu-minggu melakukan negosiasi, melobi wartawan dan pemerintah Mesir.

Perwakilan Pemerintah Belanda di Mesir terus menghalangi upaya mereka untuk mendapatkan pengakuan internasional atas kemerdekaan RI. Dokumen tersebut adalah selembar surat pengakuan Mesir kepada Negara Republik Indonesia yang berdaulat secara de facto dan de jure, yang ditandatangani Menlu Mesir Nokrashi Pasha, tertanggal 10 Juni 1947.

Mesir menjadi negara pertama yang mengakui kedaulatan Negara RI.

Keberhasilan mendapatkan satu pengakuan kemerdekaan tersebut, harus segera dilaporkan kepada Presiden Soekarno di Jogjakarta.

Baswedan pun diperintah Agus Salim untuk kembali ke tanah air dan membawa dokumen itu secara rahasia.

Ia harus menyampaikan dokumen itu seorang diri tak peduli bagaimanapun caranya, karena rombongan delegasi saat itu masih harus melobi negara-negara Liga Arab lainnya.

Ketika itu untuk menuju Jakarta dari Kairo, hanya melalui pesawat dengan tujuan Singapura. Sialnya RI yang baru saja merdeka tidak memiliki perwakilan di Singapura. Dan tentara Belanda yang mengenal Baswedan sebagai pemuda aktivis pejuang kemerdekaan, terus menghalangi ia utk kembali ke Indonesia.

Baswedan berkeliling mencari cara dan tumpangan untuk bisa kembali ke Indonesia. Sebagai seorang pemuda keturunan Arab, Baswedan yg pernah menjadi wartawan dan Ketua Partai Arab di Indonesia, sekaligus anggota BPUPKI itu, memiliki jaringan perkawanan yang amat luas.

Selama sebulan di Singapura, ia bergerilya mencari tumpangan untuk pulang ke Indonesia dan hidupnya disokong oleh seorang teman Arabnya. Akhirnya seorang kawannya, Talib Yamani, berhasil membantunya menaiki pesawat menuju Jakarta.

Namun penjagaan pasukan Belanda di Bandara tak kurang ketatnya. Semua yang datang digeledah oleh tentara, dan jika sampai ketahuan maka dokumen penting yang dibawa Baswedan pasti akan dirampas oleh mereka, dan ia terancam ditangkap.
Baswedan tak kurang akal. Ia pun melipat kecil dokumen penting dari Pemerintah Mesir itu, dan menyembunyikannya di bawah kaki di dalam kaos kakinya.

Kedua kakinya saat itu hanya terbungkus sepasang sepatu lusuh, yang telah menemaninya selama berbulan-bulan bergerilya mencari pengakuan kemerdekaan di negeri asing.

Taktik yang sempurna. Karena ternyata tentara Belanda menggeledah semuanya, tapi terlalu malas untuk memeriksa sepatu dan kaos kaki dekilnya.

Setelah lolos dari pemeriksaan, AR Baswedan segera menuju Jogjakarta. Ia menemui Soekarno yang memeluk dan menerimanya dengan berlinangan air mata kebahagiaan.
Setelah Mesir, satu per satu pengakuan dari negara lainpun berdatangan.

Pupus sudah harapan Belanda untuk membentuk Negara Indonesia Serikat yang berada dibawah kekuasaan mereka.
Pengakuan Mesir itu sudah menghancurkan harapan penjajah. Dengan adanya dukungan Internasional, maka RI bisa bersuara di PBB dan akhirnya berbuah manis dengan diakuinya Negara Republik Indonesia oleh dunia internasional.

Jerih payah Baswedan membawa selembar surat pengakuan kemerdekaan, telah menghantarkan Indonesia untuk mencapai posisi yang sama dengan negara-negara merdeka lainnya di dunia.

Bersama dengan tokoh pejuang seperti AR Baswedan itulah Anies Rasyid Baswedan kecil bergaul, dan tinggal serumah di Jogjakarta.

AR Baswedan adalah kakek Anies yang teramat ia cintai dan selalu menjadi panutan dalam hidupnya.

Sebagai cucu pertama, Anies sering dibawa kakeknya dan menemaninya berbicara di depan publik, mengikutinya berorasi di atas panggung, dan bertemu dengan tokoh-tokoh nasional maupun internasional yg silih berganti menemui dan berdiskusi dengan sang kakek.
Saat sudah masuk SD, tugas Anies kian beragam. Ia diajari mengetik surat agar dapat membantu AR Baswedan yang mendiktekan isi surat, untuk dikirim kepada teman-temannya.

Sebagai penghargaan, di baris terakhir Anies biasa diminta untuk menambahkan kalimat:
‘Surat ini diketik oleh cucu saya, Anies Rasyid Baswedan.’

Tugas Anies mendampingi Sang Pejuang belum selesai.

Saat ia menginjak remaja, Anies mulai dibolehkan belajar mengendarai vespa.

Tugas barunya adalah mengantar kakek untuk mengunjungi teman-temannya. Ia juga menjemput teman-teman seperjuangan kakeknya yang datang berkunjung ke Jogja.

Dengan pengalaman masa kecil dididik oleh sang kakek yang tokoh pejuang, diasuh oleh sang Ibu yang seorang guru besar di Universitas Negeri Yogyakarta, serta ditempa oleh ayah yang seorang Wakil Rektor di Universitas Islam Indonesia, tak heran Anies kemudian tumbuh menjadi seorang intelektual muda yang cerdas dan cekatan.

Tak heran Anies yang mantan Ketua Umum Senat Mahasiswa UGM itu, pernah masuk ke dalam ‘Daftar 100 Intelektual Dunia’ pilihan majalah Foreign Policy thn 2008, dan ‘Young Global Leaders’ versi World Economic Forum tahun 2009.

Ia juga jd penggagas Gerakan Indonesia Mengajar yang melibatkan ribuan pemuda di seluruh Indonesia.

Kini Anies Baswedan yang juga mantan Menteri Pendidikan itu, memasuki fase perjuangannya yang baru.

Ia memutuskan untuk bersedia menerima lamaran Sandiaga Uno, agar menjadi pasangannya di Pilkada DKI.

Hujatan dan kritikan yang menghujani Anies saat ini, mengingatkannya kepada petuah sang kakek bahwa ‘Tak Ada Perjuangan Yang Usai’. Selama hayat dikandung badan, maka setiap manusia selalu dituntut untuk memperjuangkan kehidupan yang lebih baik bagi sesamanya.

Hujan kritikan pedas yang pernah diterimanya 3 tahun lalu saat dirinya maju mengikuti konvensi di sebuah partai, persis kini dialaminya lagi.

Keputusannya untuk terjun kembali ke politik dengan menjadi Cagub DKI Jakarta, yang diusung oleh 2 partai yg pernah menjadi lawannya di saat Pilpres 2014 lalu itupun, menuai pro dan kontra.

Soal jalan politik yang dipilih sebagai titian perjuangannya itu, dan tentang kenangannya terhadap sang kakek AR Baswedan yang menjadi guru kehidupan sekaligus motivator yang melekat di dalam jiwanya, Anies memberikan penuturan yang kuat dan indah.

Tekad politiknya yang justru kian menebal dalam menghadapi derasnya kritikan dan hujatan, serta cita-cita tinggi Anies dalam membangun bangsa, diabadikan dalam sebuah rekaman 3 tahun lalu.

sumber : ruangbicara.com 

Related Posts: