Tato di rezim Orde Baru, tahun 1980-1985 diidentikan dengan preman. Kala itu, ada istilah penembak misterius atau petrus yang bertugas membersihkan para preman-preman. Tanpa ampun, mereka yang dicap sebagai penjahat menjadi sasaran pembunuhan.
Operasi bersih-bersih ini hampir dilakukan di seluruh daerah. Komnas HAM mencatat ada 2.000 korban selama petrus bergentayangan. Tahun 2012, Komnas HAM menyimpulkan petrus adalah pelanggaran HAM berat. Hingga kini siapa para petrus itu masih jadi misteri.
Keadaan ini tak hanya membuat para preman yang menamakan dirinya Gali alias gabungan anak liar resah, orang-orang biasa, tetapi mempunyai tato juga ketakutan. Mereka khawatir menjadi korban keganasan petrus.
Kisah ini dialami oleh seorang guru di Bogor, sebut saja namanya Peter. Peter yang berasal dari Indonesia Timur memiliki sejumlah tato di tubuhnya. Gemetar dengan aksi petrus, Peter pun memilih ngungsi ke rumah kakaknya yang tentara di Jonggol, untuk beberapa bulan.
"Waktu itu ketakutan dengan petrus. Isunya orang bertato dicariin, bokap gue takut," kata sang anak yang enggan menyebutkan namanya kepada merdeka.com, Sabtu (13/4).
Apalagi, katanya, waktu itu teman Peter yang memiliki tato tiba-tiba saja menghilang. Bahkan, sampai Peter tutup usia, tak ada lagi kabar berita mengenai sang teman yang memiliki tato.
"Satu kampung, mereka dicap preman. Bokap sendiri punya pengalaman temannya hilang, dan tidak ketemu," katanya.
Setelah isu petrus mulai mereda, Peter baru memberanikan diri kembali berkumpul dengan orangtuanya. "Akhirnya bokap gue bisa hidup tenang, dan jadi pengusaha," katanya.
Pengalaman buruk soal petrus juga dialami oleh Toni, warga Margahayu, Bandung. Pada tahun 1980-an, Toni menjadi korban salah tangkap para petrus yang disinyalir sebagai orang-orang terlatih.
Di Rukun Warga (RW), tempatnya tinggal waktu itu ada dua nama Toni. Toni yang dicari adalah preman yang suka meminta uang secara paksa ke tukang parkir di Terminal Kebon Kalapa. Sedangkan Toni yang ditangkap adalah seorang guru.
Pada suatu malam, Toni dikejutkan dengan kedatangan sejumlah pria yang memaksanya masuk ke dalam mobil Land Rover. Di dalam mobil, muka Toni ditutup kain hitam, dan lehernya sudah dijerat dengan tali.
"Saya bukan preman, saya guru. Saya sampai sumpah-sumpah," ungkap Toni menceritakan pengalaman buruknya ke para tetangga.
Mendengar itu, salah seorang petrus memerintahkan agar identitas Toni diperiksa. Setelah KTP-nya dicek, dan para pembunuh berdarah dingin meyakini kalau salah orang, akhirnya Toni dibebaskan.
"Saya dibuang di Cikole sekitar 16 kilometer dari Margahayu, dengan tangan diikat," ujarnya.
Beberapa bulan setelah kejadian itu, Toni yang dicari-cari ditemukan tewas mengenaskan di pinggir jalan Kota Bandung. Warga meyakini si tukang palak itu tewas di tangan para penembak misterius.
sumber : merdeka.com