Yang Sakit Itu SOEDIRMAN, Panglima Besar Tidak Pernah SAKIT.!

Indonesia baru saja merdeka, Belanda ingkar janji. Suara bom pesawat Belanda mengagetkan Panglima Besar Jenderal Sudirman yang dirawat di Rumah Sakit Panti Rapih. Anak buahnya mencoba menenangkan Sudirman, "Itu hanya anak-anak yang sedang latihan perang."

Sudirman baru saja kehilangan satu paru-parunya di meja operasi. Rasa sakit masih menyiksa. Akan tetapi, instingnya sebagai ahli taktik perang berkata, ada yang tidak beres. Sadar negara dalam keadaan genting, Sudirman menemui Presiden Soekarno di Istana Gedung Agung, Yogyakarta.

Di hadapan Soekarno, Sudirman minta izin memulai gerilya untuk menghancurkan mental Belanda. Kala itu, Soekarno melarang, "Kang Mas sedang sakit, lebih baik tinggal di kota". Sudirman menyahut, "Yang sakit Sudirman, Panglima Besar tidak pernah sakit."

Jawaban Sudirman sebelum memulai perang gerilya itu kini dituliskan pada mural berlatar belakang bendera Merah Putih di Museum Pusat TNI Angkatan Darat Dharma Wiratama. Menurut Kepala Seksi Pemandu dan Pameran Museum Mayor Riko Sahani, bangunan museum ini dulunya merupakan markas besar Tentara Keamanan Rakyat (TKR) saat perang kemerdekaan.

Keterbatasan fisik tak menyurutkan niat Sudirman memimpin perang gerilya. Bertolak dari rumah dinasnya di kawasan Bintaran yang kini jadi Museum Panglima Besar Jenderal Sudirman, satu kompi pasukan (80 tentara) dibawa. Demi keamanan, keluarganya dititipkan di lingkungan Keraton Yogyakarta.

Lahir

Sesaat setelah merdeka, Indonesia yang baru lahir mendapat cobaan bertubi-tubi. Pemberontakan pecah di mana-mana, tentara sekutu yang diboncengi Belanda kembali menancapkan kuku penjajahannya. Di tengah kekacauan itulah, rantai komando perang lahir dari Yogyakarta.

Berawal dari inisiatif Letnan Jenderal Urip Sumoharjo yang melontarkan keprihatinan "alangkah lucunya negara tanpa tentara" maka dibentuk TKR yang menjadi cikal bakal lahirnya Tentara Nasional Indonesia. Melalui konferensi besar TKR pada 12 November 1945, untuk pertama kalinya, Indonesia memiliki pucuk pimpinan tertinggi angkatan perang.

Setelah mengusir tentara sekutu di Ambarawa pada Oktober 1945, Kolonel Sudirman dilantik menjadi Pimpinan Tertinggi TKR, sedangkan Urip Sumoharjo menjadi Kepala Staf Umum yang meletakkan dasar organisasi TNI. Pelantikan dilaksanakan pada 18 Desember 1945.

Dari markas besar TKR di Yogyakarta, terpancar kesatuan komando ke seluruh Tanah Air dalam mempertahankan kemerdekaan yang mulai terancam tentara Belanda maupun pemberontakan dari dalam negeri. Perang di bawah rantai komando Sudirman, antara lain, adalah perang atau palagan di Bandung yang dikenal sebagai Bandung Lautan Api. Bandung dibumihanguskan saat melawan sekutu dan Belanda November 1945-24 Maret 1946.

Perang lain di bawah komando markas besar TKR di Yogyakarta adalah Palagan Surabaya di bawah pimpinan Bung Tomo yang kini diperingati sebagai Hari Pahlawan 10 November. Beberapa kali pemberontakan mulai dari PKI Muso di Madiun, DI/TII di Jawa Tengah, hingga RMS di Maluku berhasil dipadamkan.

Selama perang gerilya Desember 1948-10 Juli 1949, Sudirman juga memegang rantai komando untuk serangan umum 1 Maret 1949 yang dipimpin Letnan Kolonel Soeharto.

Melalui serangan umum, tentara berhasil menguasai kembali Yogyakarta selama enam jam. Dunia menyaksikan, Indonesia masih ada dan PBB mendesak Belanda membuka jalan perundingan melalui Konferensi Meja Bundar yang berisi pengakuan terhadap kedaulatan Indonesia.

Meski tidak banyak meninggalkan catatan di wilayah yang dilintasi seperti di Bantul, perjalanan gerilya Sudirman menjadi spirit tersendiri bagi masyarakat. "Semangat dan kegigihannya tetap berjuang meski sakit seharusnya terus diteladani," ujar Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Bantul Suyoto

sumber : kompas.com

Related Posts: