Menegangkan! Kisah Soeharto Tembus Medan Perang Sarajevo untuk Bantu Bosnia!

Tahun 1992-1995, konflik di Balkan memakan korban ribuan rakyat Bosnia. Tentara Serbia menggelar aksi kejam untuk memusnahkan etnis Bosnia. Pembantaian yang terjadi terhadap Muslim Bosnia tercatat sebagai genosida paling mengerikan setelah Perang Dunia II usai.

Di tengah baku tembak antara Bosnia dan Serbia, itulah Presiden Soeharto berkunjung ke Balkan. Setelah bertemu Presiden Kroasia Franjo Tudjman, di Zagreb pada tahun 1995, Presiden Soeharto pamit untuk melanjutkan perjalanan ke Sarajevo, ibu kota Bosnia Herzegovina.

Demikian dikisahkan dalam Buku 'Pak Harto The Untold Stories' yang diterbitkan PT Gramedia Pustaka Utama tahun 2011.

Anggota rombongan kaget. Baru saja mereka mendengar kabar pesawat yang ditumpangi Utusan Khusus PBB Yasushi Akashi ditembaki saat terbang ke Bosnia. Namun insiden penambakan itu tidak menyurutkan langkah pemimpin negara Non Blok ini berangkat ke Bosnia.

Setelah berdebat, PBB mengizinkan Soeharto terbang ke Bosnia. Syaratnya, Soeharto harus menandatangani surat pernyataan risiko. Artinya PBB tak bertanggung jawab jika suatu hal menimpa Presiden RI kedua ini di Sarajevo.

Presiden Soeharto langsung meminta formulir kepada Sjafrie Sjamsoeddin, Komandan Grup A Pasukan Pengaman Presiden. Dia langsung menandatangani surat itu tanpa ragu.

Sjafrie ketar-ketir juga. Apalagi saat Soeharto menolak mengenakan helm baja. Dia juga tak mau menggunakan rompi antipeluru seberat 12 kg yang dikenakan oleh setiap anggota rombongan.

"Eh, Sjafrie, itu rompi kamu cangking (jinjing) saja," ujar Soeharto pada Sjafrie.

Pak Harto tetap menggunakan jas dan kopiah. Sjafrie pun ikut-ikutan mengenakan kopiah yang dipinjamnya dari seorang wartawan yang ikut. Tujuannya untuk membingungkan sniper yang pasti akan mengenali Presiden Soeharto di tengah rombongan.

"Ini dilakukan untuk menghindari sniper mengenali sasaran utamanya dengan mudah," terang Sjafrie.

Suasana mencekam. Saat mendarat di Sarajevo, Sjafrie melihat senjata 12,7 mm yang biasa digunakan untuk menembak jatuh pesawat terbang terus bergerak mengikuti pesawat yang ditumpangi rombongan Presiden Soeharto.

Saat konflik, lapangan terbang itu dikuasai dua pihak. Pihak Serbia menguasai landasan dari ujung ke ujung, sementara kiri-kanan landasan dikuasai Bosnia.

"Pak Harto turun dari pesawat dan berjalan dengan tenang. Melihat Pak Harto begitu tenang, moral dan kepercayaan diri kami sebagai pengawalnya pun ikut kuat, tenang dan mantap. Presiden saja berani, mengapa kami harus gelisah," beber Sjafrie.

Setelah mendarat, bukan berarti masalah selesai. Mereka harus melewati Sniper Valley, sebuah lembah yang menjadi medan pertarungan para penembak jitu Serbia dan Bosnia. Sudah tak terhitung banyaknya korban yang jatuh akibat tembakan sniper di lembah itu.

Pak Harto naik panser VAB yang sudah disediakan Pasukan PBB. Walau di dalam panser, bukan berarti mereka akan aman 100 persen dari terjangan peluru sniper. Tapi Presiden Soeharto santai-santai saja.

Akhirnya mereka sampai di Istana Presiden Bosnia yang keadaannya sangat memprihatinkan. Tidak ada air mengalir, sehingga air bersih harus diambil dengan ember. Pengepungan yang dilakukan Serbia benar-benar meluluh-lantakan kondisi Bosnia.

Presiden Bosnia Herzegovina Alija Izetbegovic menyambut hangat kedatangan Presiden Soeharto. Dia benar-benar bahagia Soeharto tetap mau menemuinya walaupun harus melewati bahaya.

Setelah meninggalkan istana, Sjafrie pun bertanya pada Soeharto mengapa nekat mengunjungi Bosnia yang berbahaya. Termasuk menyampingkan keselamatan dirinya.

"Ya kita kan tidak punya uang. Kita ini pemimpin Negara Non Blok tetapi tidak punya uang. Ada negara anggota kita susah, kita tidak bisa membantu dengan uang ya kita datang saja. Kita tengok," jawab Pak Harto.

"Tapi resikonya sangat besar, Pak" kata Sjafrie lagi.

"Ya itu bisa kita kendalikan. Yang penting orang yang kita datangi merasa senang, morilnya naik, mereka jadi tambah semangat," kata Pak Harto.

Kata-kata itu membekas di hati Sjafrie. Bahkan sampai puluhan tahun kemudian, dia masih ingat kata-kata Presiden Soeharto tersebut.

"Kalimat yang diucapkannya bermuatan keteladanan yang berharga bagi siapa pun yang hendak menjadi pemimpin," tutup Sjafrie.

Sumber : merdeka.com

Related Posts:

Josaphat Tetuko sang Maestro RADAR, Anak "KOPASGAT" Yang Diincar Dunia!

Wawancara mengagumkan dengan seorang putera Indonesia berprestasi dilakukan Angkasa, Selasa malam (20/12/2016) lewat media komunikasi digital. Dia adalah Prof. Dr. Josaphat Tetuko Sri Sumantyo (46 tahun), Guru Besar teknologi penginderaan jauh di Universitas Chiba, Jepang, yang belakangan amat “diincar” berbagai badan antariksa dunia dan mestinya industri kemiliteran ternama.

Badan-badan antariksa seperti NASA (AS), JAXA (Jepang), ESA (Eropa) dan KARI (Korea Selatan) itu aktif mengontak Josaphat karena dia adalah satu-satunya pemegang hak paten teknologi terbaru di bidang synthetic apparture radar, pemindai obyek jarak jauh yang bisa menembus awan dan gulita malam. Jika sejauh ini teknologi SAR yang diandalkan NASA, JAXA dan ESA bersosok besar dan harus diusung satelit seberat 1.000 kg, ia mampu meringkasnya jadi hanya sepersepuluhnya. Mereka tertarik karena obyek yang dipindai bisa berupa planet-planet yang letaknya sangat jauh dari Bumi.

Radar mikro ciptaannya ini dinamai Circularly Polarized – Synthetic Aperture Radar atau CP-SAR. “Yang selama ini digunakan dunia adalah jenis linear polarized. Nah, berdasar prinsip microwave, saya berhasil mengembangkan yang circular. Saya kembangkan sejak 2010, dan kini saatnya saya pasang di satelit mikro buatan Indonesia, Lapan A-5,” ungkapnya kepada Adrianus Darmawan dari Angkasa.

Satelit mikro Lapan A-5 yang tengah digarap di fasilitas Lapan, Rancabungur, Bogor, Jawa Barat sendiri hanya berbobot 150 kg. Jika selama ini Lapan seri A harus puas mengusung pencitra optis buatan luar yang memiliki berbagai kelemahan, A5 yang akan diluncurkan pada 2021 pun bakal mengguncang dunia. Itu karena jeroan CP-SAR yang akan dipasang di satelit buatan 100 persen Anak Bangsa ini, sengaja tak dibuka penuh kepada dunia.

CP-SAR menurutnya bisa diberdayakan jadi pelacak pesawat dan kapal perang siluman (stealth) dan radar AESA. Dengan begitu Lapan A5 pun akan jadi satelit pertama di dunia pengusung perangkat intai berteknologi baru. Keputusannya memilih satelit Lapan tak lain didorong oleh kecintaannya terhadap Indonesia. Pihak TNI AU sebenarnya pernah memintanya untuk diterapkan pada pesawat intai, namun CP-SAR lebih cocok dipasang di satelit mikro. Lalu untuk mengamati wilayah seluas Indonesia, kira-kira dibutuhkan berapa satelit?

“Kalau orbit satelitnya polar, butuh lima. Tapi kalau dari jenis equatorial, cukup dua. Begitupun saya sudah mencobanya di pesawat tanpa awak buatan Josaphat Laboratory Experimental UAV di Universitas Chiba, Jepang, dan itu berhasil,” tutur alumnus SMAN 1 Surakarta, Jawa Tengah yang pernah bekerja pula di BPPT ini, penuh semangat.

Tentang pesawat tanpa awak itu sendiri, ia punya cerita khusus. Sang UAV sengaja dicat warna jingga lantaran kekagumannya yang luar biasa terhadap korps baret jingga alias Korpaskhasau. Kenapa? “Itu karena saya mengenyam pendidikan dari gaji ayah saya yang pelatih Kopasgat (kini Korpaskhas TNI AU). Dia adalah Lettu Michael Suman Juswaljati atau sering dipanggil Bimo Kunting,” ujarnya.

Ketika muda, Josaphat rupanya pernah bercita-cita jadi penerbang AURI, namun tidak diijinkan oleh ibunya. Sejak itu ia pun bernazar kepada orangtuanya, bahwa kelak dirinya akan jadi pembuat pesawat dan radar. Siapa sangka, nazarnya itu tercapai.

sumber : angkasa.grid.id

Related Posts:

MENGEJUTKAN.! Ini Pengakuan Prajurit Denjaka yang Disebut "GILA" oleh US NAVY!

Pesawat AirAsia QZ-8501 jurusan Surabaya-Singapura jatuh di Selat Karimata pada Minggu (28/12) lalu. Pesawat milik CEO Tony Fernandez menewaskan puluhan penumpang.

Para penyelam TNI AL menunjukkan kerja keras luar biasa dalam evakuasi korban AirAsia. mereka nekat menyelam di tengah cuaca ekstrem.

Oleh sebab itu, Lieutenant Commander US Navy, Greg Adams, menganggap pasukan penyelam elit TNI Angkatan Laut telah melakukan hal yang 'gila'.

Atas keberhasilan tim penyelam tersebut, Kepala Staf Angkatan Laut (Kasal) Laksamana TNI Ade Supandi memberikan penghargaan kepada prajurit TNI yang bertugas dalam operasi pesawat tersebut. Apalagi, katanya, banyak sekali aksi tim penyelam yang dilakukan di luar kebiasaan salah satunya bergantian tabung gas di bawah laut.

"Jadi waktu itu ada prajurit tabung gas nol persen, cuma temannya bergantian. Sehingga mereka melakukan di luar kemampuan manusia," kata Ade Supandi di Lapangan Komando Armada RI Kawasan Barat, Jakarta, Selasa (24/2).

Sementara, salah satu penyelam Mayor Marinir Profs Dhegratmen membenarkan aksinya dalam melakukan penyelaman saling berbagai tabung gas oksigen. Pasalnya, tabung gas yang dibawa oleh penyelam melebihi batas waktu.

Berikut wawancara salah satu penyelam dari Denjaka Mayor Marinir Profs Dhegratmen kepada merdeka.com.

Bagaimana perasaan anda mendapatkan penghargaan?

Ini sesuatu yang tidak kita duga ya karena ini perhatian dari sebuah pimpinan terhadap rekan-rekan penyelam yang kemarin ikut tim sar. Perhatian yang begitu besar dari bapak Kasal dan Panglima itu buat kita surprise sekali.

Di sana bapak berapa hari melakukan evakuasi?

Tanggal 31 Desember 2014 sampai 28 Januari 2015. Jadi satu tahun lah. Hehehe

Kendalanya yang dihadapi saat menyelam apa saja?

Kendala yang dihadapi tentunya cuaca kemarin kita sudah bersama-sama. Lalu tingginya ombak saat penyelaman jarak pandang dan arus diatas. sebenarnya kalau aturan menyelam itu kita tak boleh direkomendasikan. Tapi karena tugas kita hadapi saja.

Sebelumnya sudah mengalami kondisi alam seperti di Selat Karimata?

Sepertinya ini termasuk salah satu perairan yang ekstrem ya, tinggi gelombang dan cuaca yang mendadak tidak terlalu lama dari tenang tiba-tiba ombak tinggi ombak bisa mencapai 3 sampai 6 meter. Di sana Panglima mengalami sendiri begitu beliau turun bagaimana kondisi di atas perahu karet tidak bisa melihat ke depan karena saking tingginya gelombang.

Perubahan cuaca bisa mencapai berapa menit sekali?

Oh kita tidak bisa menjadwalkan karena Yang Mahakuasa yang bisa.

Lalu bagaimana anda menilai tanggapan dari tentara luar kalau penyelam kemarin itu 'gila'?

Kita berani dan juga punya perhitungan. Kita tetap memperhitungkan prosedur dan SOP. 

Merdeka.com - Jadi penyelam sudah berapa lama?

Saya mulai 2003 sampai sekarang, berarti sudah 12 tahun.

Kata Kasal penyelam di bawah laut tabungnya ganti-gantian sesama penyelam?

Ya memang ini masuk prosedur jadi kalau 2 orang ada di kedalaman tertentu apabila satu orang mengalami kehabisan udara wajib melakukan buddy breathing. Buddy breathing itu melaksanakan joint optis untuk melaksanakan pernapasan di bawah air sudah prosedur. Kalau salah satu habis misalnya dengan anda gitu memberikan perhatian habis maka bergantian dan ada waktu melaksanakan pernapasan di bawah tapi dia setelah itu harus naik.

Waktu menyelam operasi pesawar AirAsia QZ-8501 ada kejadian yang unik tidak? Serta ada tidak kejadian aneh?

Kalau saya pakai logika jadi tidak terlalu. Cuma logikanya itu saja kondisi arus kondisi gelombang termasuk kondisi matahari pada saat petang. Yang saya alami itu saat pengangkatan badan pesawat cuaca bagus, begitu naik sempat terputus tali. Habis itu gelap sekali di bawah. Nggak tahu itu fenomena apa.

Bagaimana anda menilai kondisi di bawah laut Selat Karimata?

Kemarin sebagian ada yang berlumpur dan pasir.

Artinya kondisi dibawah laut keruh?

Air keruh kalau arus di bawah kuat. Kalau arus di bawah nol koma lima cenderung visibilty bisa melihat jarak jauh. Tapi jika di atas 2 knot atau lebih arus akan membawa partikel-partikel air dan lumpur yang di bawah akan terangkat. Itu yang membuat jarak pandang di bawah keruh.

Kondisi jenazah disana saat itu bagaimana? Apakah kondisi jenazah sudah rusak?

Kemarin kalau yang kita alami ada beberapa. Ya kita kan harus hati-hati saat menemukan jenazah banyak yang di atas atap pesawat. Apalagi ada yang sudah lepas dari sabuk pengaman. Jadi di atap body pesawat kita ambil bajunya kalau ambil tubuhnya langsung bisa rawan. Kondisi ada yang sebagian masih utuh karena benturan mungkin sudah patah tulang entah kaki atau tangan, sehingga diambil kondisi tidak utuh.

Waktu mengangkat jenazah takut?

Kita sebulan sekali juga melaksanakan seperti itu. Baik mengambil jenazah di kapal karam atau pesawat.

Merdeka.com - Tim penyelam kalau turun bisa berapa lama?

Kemarin kita menggunakan prosedur no decompression. No decompression itu artinya tidak melakukan decompression ya disini. Kita mempunyai timing maksimal 20 menit di bawah permukaan air. Jadi proses dia turun sampai naik itu total itu 20 menit.

Tapi ada pekerjaan yang melebihi batas waktu saya di atas 30 menit pada saat menemukan ekor dan badan pesawat 26 menit. Sehingga 2 penyelam masing-masing membawa cadangan 2 tabung itu yang kita laksanakan. No deco itu kita harus berhenti dalam keadaan tertentu dalam hal ini 5-7 meter untuk melaksanakan no decompression dulu disitu 3-5 menit setelah itu baru kita naik.

Apa bahaya decompression itu?

Kalau bahayanya keracunan nitrogen. Kalau nitrogen banyak di udara akan keracunan dan itu akan membuat kelumpuhan. Makanya ada prosedur setelah penyelamanan melaksanakan harus masuk chamber portable.

Kalau keluarga sudah biasa ditinggal tugas luar?

Sama seperti sampeyan. (wartawan merdeka.com juga melakukan liputan evakuasi lebih dari seminggu)

Kemarin tidak cuti tahun baru ya?

Saya nggak tahu kalau sudah tahun baru itu sudah lewat. Saya begitu dapat sinyal cek hp selamat tahun baru. Oh iya sudah tahun baru.

Menurut anda alat selam TNI AL sudah memadahi?

Kalau saya bilang sudah memadahi secara klasifikasi. Kita juga kemarin kendalanya di peralatan sebenarnya yang harus kita ada kuba open kita pakai setiap hari. Kemudian Kirby Morgan Band (KMB) kedalaman tertentu bisa sampai 100 meter kemarin kita bawa tapi tidak kita gunakan. Kirby Morgan Band bisa melakukan penyelaman selama 2 jam. Kirby Morgan Band bentuknya kayak astronot.

Dibanding alat tentara luar ketinggalan tidak punya kita?

Kita sebenarnya selalu mengikuti teknologi peralatan penyelaman, cuma kadang-kadang kita punya sesuai kebutuhan kan tidak terlalu misalnya harusnya dipunyai 100 orang kita punya alat untuk 50 orang atau 10 orang.

sumber ; merdeka.com

Related Posts:

Yang Sakit Itu SOEDIRMAN, Panglima Besar Tidak Pernah SAKIT.!

Indonesia baru saja merdeka, Belanda ingkar janji. Suara bom pesawat Belanda mengagetkan Panglima Besar Jenderal Sudirman yang dirawat di Rumah Sakit Panti Rapih. Anak buahnya mencoba menenangkan Sudirman, "Itu hanya anak-anak yang sedang latihan perang."

Sudirman baru saja kehilangan satu paru-parunya di meja operasi. Rasa sakit masih menyiksa. Akan tetapi, instingnya sebagai ahli taktik perang berkata, ada yang tidak beres. Sadar negara dalam keadaan genting, Sudirman menemui Presiden Soekarno di Istana Gedung Agung, Yogyakarta.

Di hadapan Soekarno, Sudirman minta izin memulai gerilya untuk menghancurkan mental Belanda. Kala itu, Soekarno melarang, "Kang Mas sedang sakit, lebih baik tinggal di kota". Sudirman menyahut, "Yang sakit Sudirman, Panglima Besar tidak pernah sakit."

Jawaban Sudirman sebelum memulai perang gerilya itu kini dituliskan pada mural berlatar belakang bendera Merah Putih di Museum Pusat TNI Angkatan Darat Dharma Wiratama. Menurut Kepala Seksi Pemandu dan Pameran Museum Mayor Riko Sahani, bangunan museum ini dulunya merupakan markas besar Tentara Keamanan Rakyat (TKR) saat perang kemerdekaan.

Keterbatasan fisik tak menyurutkan niat Sudirman memimpin perang gerilya. Bertolak dari rumah dinasnya di kawasan Bintaran yang kini jadi Museum Panglima Besar Jenderal Sudirman, satu kompi pasukan (80 tentara) dibawa. Demi keamanan, keluarganya dititipkan di lingkungan Keraton Yogyakarta.

Lahir

Sesaat setelah merdeka, Indonesia yang baru lahir mendapat cobaan bertubi-tubi. Pemberontakan pecah di mana-mana, tentara sekutu yang diboncengi Belanda kembali menancapkan kuku penjajahannya. Di tengah kekacauan itulah, rantai komando perang lahir dari Yogyakarta.

Berawal dari inisiatif Letnan Jenderal Urip Sumoharjo yang melontarkan keprihatinan "alangkah lucunya negara tanpa tentara" maka dibentuk TKR yang menjadi cikal bakal lahirnya Tentara Nasional Indonesia. Melalui konferensi besar TKR pada 12 November 1945, untuk pertama kalinya, Indonesia memiliki pucuk pimpinan tertinggi angkatan perang.

Setelah mengusir tentara sekutu di Ambarawa pada Oktober 1945, Kolonel Sudirman dilantik menjadi Pimpinan Tertinggi TKR, sedangkan Urip Sumoharjo menjadi Kepala Staf Umum yang meletakkan dasar organisasi TNI. Pelantikan dilaksanakan pada 18 Desember 1945.

Dari markas besar TKR di Yogyakarta, terpancar kesatuan komando ke seluruh Tanah Air dalam mempertahankan kemerdekaan yang mulai terancam tentara Belanda maupun pemberontakan dari dalam negeri. Perang di bawah rantai komando Sudirman, antara lain, adalah perang atau palagan di Bandung yang dikenal sebagai Bandung Lautan Api. Bandung dibumihanguskan saat melawan sekutu dan Belanda November 1945-24 Maret 1946.

Perang lain di bawah komando markas besar TKR di Yogyakarta adalah Palagan Surabaya di bawah pimpinan Bung Tomo yang kini diperingati sebagai Hari Pahlawan 10 November. Beberapa kali pemberontakan mulai dari PKI Muso di Madiun, DI/TII di Jawa Tengah, hingga RMS di Maluku berhasil dipadamkan.

Selama perang gerilya Desember 1948-10 Juli 1949, Sudirman juga memegang rantai komando untuk serangan umum 1 Maret 1949 yang dipimpin Letnan Kolonel Soeharto.

Melalui serangan umum, tentara berhasil menguasai kembali Yogyakarta selama enam jam. Dunia menyaksikan, Indonesia masih ada dan PBB mendesak Belanda membuka jalan perundingan melalui Konferensi Meja Bundar yang berisi pengakuan terhadap kedaulatan Indonesia.

Meski tidak banyak meninggalkan catatan di wilayah yang dilintasi seperti di Bantul, perjalanan gerilya Sudirman menjadi spirit tersendiri bagi masyarakat. "Semangat dan kegigihannya tetap berjuang meski sakit seharusnya terus diteladani," ujar Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Bantul Suyoto

sumber : kompas.com

Related Posts:

Kisah Sertu PARDAL, Menggembleng Tim Menembak Tentara BRUNEI Sampai PINGSAN.!

Sertu Pardal dan ilustrasi Tentara Brunei
Kemampuan istimewa yang dimiliki Komando Pasukan Khusus (Kopassus) telah mendapatkan pengakuan internasional. Tidak heran bila beberapa negara meminta secara khusus agar pasukan elite TNI-AD tersebut menularkan kemampuan kepada tentara mereka. Itu pula yang dilakukan Sertu Pardal yang selama sepuluh bulan melatih Tim Rifle Brunei Darussalam.

SERTU Pardal merupakan seorang di antara sekian banyak anggota Kopassus yang punya kemampuan istimewa. Dia dikenal jago menembak dan memiliki keahlian sebagai penembak jitu.

Karena kemampuan itu pula, ketika tentara Brunei Darussalam meminta TNI mengirimkan anggotanya untuk menjadi pelatih di negeri berpenduduk sekitar 500 ribu jiwa tersebut, Pardal langsung ditunjuk komandannya.

Kehadiran Pardal di negara kaya ladang minyak dan gas tersebut adalah untuk melatih Tim Rifle dalam menembak. Mulai Februari hingga November 2013, dia menggembleng tim yang akan diterjunkan dalam ASEAN Armies Rifle Meet (AARM) tersebut.

’’Saya dikirim agar Tim Rifle bisa naik derajat di AARM, sebuah lomba menembak prestisius yang diikuti sepuluh negara ASEAN,’’ paparnya.

Tim Rifle Brunei beranggota LKpl Mohd Nor, LKpl Mohd Izwandi, LKpl Saiful, LKpl Azian, Kpl Mas Azi, SJN Romeo Eddy, Sld Modh Amizan, Sld Mushab, Sld Mustapa, Kpl Tony, dan Sld Safwan. ’’Mereka semua saya latih,’’ tegasnya.

Namun, bukan hal mudah untuk melatih anggota militer yang memiliki karakter dan metode pelatihan yang berbeda. Pada awal pertemuan, Pardal melihat posisi menembak sejumlah anggota Tim Rifle tidak kukuh. Karena itu, tembakan mereka tidak tepat pada target.

’’Kebanyakan mereka menembak dengan posisi jongkok dan menempatkan magazin di paha. Posisi itu kurang kukuh. Seharusnya magazin itu tepat di ujung paha. Jadi, bisa menahan getaran,’’ jelasnya.

Dari satu kejadian itu, Pardal mulai curiga. Dia berpikir, jangan-jangan memang tidak ada metode baku untuk menembak yang diterapkan tim Rifle. Dugaan itu terbukti saat Pardal melihat mereka berlatih. Kebanyakan asal datang ke lapangan tembak dan berlatih menembak. ’’Dari situ, saya mulai mengubah sistemnya,’’ paparnya.

Akhirnya, Pardal menetapkan jadwal latihan yang harus ditempuh dalam sehari. Pagi, awal latihan dimulai dengan lari 3 kilometer. Namun, bukan lari biasa. Mereka diajak lari sprint yang tiap 100 meter harus diganti dengan merayap tiarap. Lebih gila, saat tiarap itu, semua harus menahan napas.

Pardal tidak sekadar menyuruh, dia juga ikut bergabung berlari bersama mereka. ’’Ini untuk meningkatkan stamina para penembak,’’ tutur pria kelahiran Sukoharjo, Jawa Tengah, tersebut.

Ekstremnya latihan tersebut membuat dua anggota Tim Rifle pingsan. Keduanya pun harus dibawa ke klinik. ’’Memang, latihan ini lebih keras daripada biasanya. Tetapi, seorang prajurit harus bisa,’’ tegas suami Ery Wijayanti itu.

Setelah menyelesaikan lari 3 kilometer, agak siang, barulah tim militer Brunei itu berlatih menembak seperti biasa di lapangan. Tentu dengan perbaikan berbagai posisi, mulai jongkok hingga berdiri. ’’Awal-awal, saya yang juga ikut menembak selalu menang,’’ tuturnya.

Banyak hal yang harus diperbaiki untuk meningkatkan kemampuan tim tersebut. Menu latihan ekstrem akhirnya ditambah. Pardal mengajak Tim Rifle berlatih di kolam renang. Bukan berenang biasa, tetapi menyelam di kedalaman 2,5–3,5 meter selama mungkin. ’’Ini untuk melatih pernapasan,’’ tuturnya.

Anggota Tim Rifle pun mencoba latihan itu. Mereka menyelam bersama tanpa mengeluh. Tetapi, sesaat kemudian, satu per satu mereka menyembul ke permukaan. Setelah 1 menit, Pardal tinggal sendirian di dasar kolam. Barulah 30 detik kemudian, dia naik ke permukaan. ’’Mereka ternyata hanya mampu kurang dari satu menit,’’ katanya.

Lagi-lagi, banyak hal yang harus diperbaiki. Bukannya mengendurkan tensi latihan, Pardal malah terus menaikkannya. Kali ini, tim harus masuk ke kolam ’’neraka’’ untuk lari sprint di dalam air. Pardal memperagakan lebih dahulu lari sprint di dalam air itu. Dia memang bisa berlari di dalam air.

Akhirnya, giliran belasan anggota Tim Rifle yang mencoba. Mereka langsung mengambang ke permukaan setelah tiga langkah lari. Semua menu latihan itu terus dilakukan berulang-ulang. ’’Pokoknya sampai teler,’’ ujar Pardal bercanda.

Namun, menu latihan ala Kopassus tersebut membuat beberapa anggota Tim Rifle mulai tidak tahan. Beberapa di antara mereka menyerah. ’’Mereka sempat cerita ke saya ingin keluar dari tim,’’ ujarnya.

Apalagi ada perbedaan besar di militer Brunei. Anggota Tim Rifle dianggap belum berprestasi sehingga kurang dihargai dan tidak mendapat kompensasi dalam karir. ’’Kalau di Indonesia, masuk tim menembak, karirnya bisa lebih cepat. Tetapi, berbeda di Brunei,’’ tuturnya.

Masalah itu tidak membuat Pardal kehilangan akal. Dia terus berupaya agar anak didiknya tetap bersemangat. ’’Saya yakin, kalau berprestasi, tentu ada imbal baliknya,’’ tegas anggota TNI yang saat ini bertugas di Papua Barat tersebut.

Setelah sepuluh bulan, stamina Tim Rifle mulai naik drastis. Terutama teknik pernapasan yang begitu penting untuk menembak. Pardal menuturkan, pernapasan sangat penting agar penembak tidak goyang saat membidik dan menembak. ’’Semua menu latihan itu dilakukan selama sepuluh bulan,’’ jelasnya.

Akhirnya, tiba giliran untuk menguji hasil latihan tersebut dalam kompetisi internasional AARM 2013 di Myanmar. Sebelum 2013, Brunei selalu berada di papan dasar klasemen tembak di AARM. ’’Sebelumnya selalu di nomor delapan di antara sepuluh negara yang ikut menembak,’’ ujarnya.

Tetapi, kali ini berbeda. Kesiapan setelah berlatih bersama anggota Kopassus membuat tim Brunei sangat percaya diri. Setelah total dalam mengikuti lomba prestisius tersebut, tidak disangka, Tim Rifle Brunei mampu menempati posisi keempat setelah Indonesia, Filipina, dan Thailand. ’’Kali ini, mereka melampaui Malaysia dan Singapura yang biasanya di atas Brunei,’’ tuturnya.

Padahal, target mereka hanya lima besar AARM. ’’Tugas saya melatih menembak dan mendapatkan prestasi bagi Tim Rifle telah selesai,’’ ujar Pardal.

Setelah AARM 2013, tugas Pardal di Brunei juga usai. Saat akan pulang ke Indonesia, dia mendapat ucapan terima kasih dari semua orang. Bukan hanya Tim Rifle, pejabat militer Brunei setingkat KSAD juga memuji dan berterima kasih. ’’Memang, saya harus kembali, tentunya untuk mengabdi ke ibu pertiwi,’’ tegasnya.

Danjen Kopassus Mayjen Doni Manardo menuturkan, pengiriman anggota Kopassus ke luar negeri merupakan bentuk kerja sama antar pemerintah. Biasanya, negara lain meminta dikirimi seorang pelatih. ’’Kopassus yang sering diminta,’’ ungkapnya.


Pengiriman prajurit sebagai tenaga pelatih itu tentu bisa meningkatkan hubungan antara angkatan bersenjata setiap negara. Doni menyatakan, hubungan yang baik diperlukan agar ke depan bisa saling membantu. ’’Ini program yang baik dan perlu dilanjutkan,’’ ujarnya.

Penunjukan Pardal sebagai pelatih militer untuk Brunei bukan tanpa sebab. Lelaki yang telah 18 tahun bergabung dalam Kopassus itu memiliki segudang prestasi. Di Kopassus, dia merupakan salah seorang penembak terbaik. ’’Saya di kesatuan sering juara. Saya juga pernah ikut AARM beberapa tahun lalu dan juara,’’ paparnya.

Lelaki berusia 37 tahun itu mengingat, dalam setiap lomba di kesatuan maupun antarnegara, dirinya selalu mendapat medali. ’’Sering menang, mulai juara pertama hingga ketiga,’’ ungkapnya.

sumber : roda2blog

Related Posts:

Kisah MENCENGANGKAN Suud Rusdi yang Dua Kali Berhasil LOLOS dari Kejaran Pasukan Elit TNI!

Berbicara soal pasukan militer, Indonesia patut berbangga. Sebab, di antara berbagai unit kemiliteran yang ada, kita punya beberapa pasukan super dengan kemampuan yang setara tentara internasional. Salah satunya adalah Batalyon Intai Amfibi. Batalyon Intai Amfibi (Yon Taifib) ini adalah satuan elit dalam korps Marinir yang mungkin kedudukannya berada tepat di bawah Denjaka yang terkenal hingga ke luar negeri itu.

Namun, sayangnya unit yang satu ini pernah tercoreng akibat sebuah skandal pembunuhan yang menyeret salah satu prajuritnya. Suud Rusli namanya. Untuk mengetahui bagaimana kronologi pembunuhan yang terbukti dilakukan oleh Suud Rusli ini, mari kita simak jalan cerita selengkapnya.

Suud Rusli adalah mantan prajurit marinir yang tergabung dalam pasukan elit Angkatan Laut bernama Batalyon Intai Amfibi atau yang acap disingkat Yon Taifib. Saat itu pangkatnya di Korps Marinir adalah Kopral Dua.

Ia harus dijebloskan ke dalam penjara setelah terbukti melakukan pembunuhan berencana pada 19 Juli 2003 silam bersama rekannya Letda Syam Ahmad Sanusi terhadap bos PT Asaba, Boedyharto Angsono, sekaligus pengawalnya, Edy Siyep di Jakarta Utara. Keduanya mendapat perintah dari Gunawan Santoso yang juga divonis mati oleh majelis hakim.
Kronologi Suud melarikan diri sebanyak dua kali

Suud sejatinya akan dihukum mati pada tahun 2005 silam. Namun, bersama rekannya sesama anggota marinir, Syam Ahmad, ia berhasil melarikan diri dari Rumah Tahanan Militer Cibinong dengan cara memotong jeruji jendela sel tahanan menggunakan gergaji besi.

Kemudian, layaknya film-film klise Hollywood, ia menggunakan sebuah “tali” yang terdiri dari sarung-sarung mushala yang telah ia kumpulkan sebelumnya dan kemudian memanjat turun dinding sel tersebut. Bahkan, para sipir terkejut mengetahui hal itu. Sebab, selama di Rumah Tahanan tersebut, kedua kaki Rusli dibelenggu rantai.
Sial, usaha cerdik Suud berakhir tak sesuai rencana. Beberapa pekan kemudian ia berhasil ditemukan dan ditangkap di daerah Malang, Jawa Timur. Karena kelihaiannya, tim pemburu yang terdiri dari satu pleton bahkan sampai harus menghadiahi kakinya timah panas supaya ia dapat mudah diringkus.

Tak juga jera, Suud kembali berulah dengan melarikan diri dari Rutan. Bersama rekan yang sama, Suud berhasil mengelabui sipir dan kabur dari penjara. Namun, ia kembali berhasil ditangkap pada 23 November di tahun yang sama. Sedangkan rekannya, Syam, berhasil kabur. Ia harus mendekam di Lapas Militer Sidoarjo dan baru dipindah ke Lapas Surabaya tiga tahun kemudian. Agar ia tak sulit kembali melarikan diri, pihak Lapas menempatkannya di Blok D yang konon mendapat penjagaan lebih ketat.

Kenapa TNI sampai harus menurunkan pasukan khusus sebanyak itu untuk menangkap dua orang saja? Tak lain karena yang bersangkutan memiliki kemampuan spesial. Semua latihan keras dan berat selama di Yon Taifib telah membentuk Suud dan Syam menjadi prajurit dengan kemampuan yang mematikan.

Hukuman mati yang telah menanti

Sejatinya Suud dan Syam tengah menunggu eksekusi vosnis mati dari pengadilan militer. Dalang dari kasus pembunuhan ini, Gunawan Santoso, saat ini meninggal setelah dihukum mati.

Di sisi lain, setelah gugatan uji materi yang diajukannya ke Mahkamah Konstitusi dikabulkan, Suud saat ini tengah berupaya keras mengajukan grasi kepada Presiden Jokowi. Meski kabarnya grasi tersebut telah ditolak oleh beliau.
Sedangkan rekannya, Syam Ahmad, harus meregang nyawa lebih dulu. Sejak peristiwa pelarian dirinya dari Lapas, ia kemudian secara khusus diburu oleh pasukan elit TNI AL. Dan selama tiga tahun “kucing-kucingan” akhirnya Syam harus menemui ajal, di Pandeglang, Banten tanggal 17 Agustus 2007, setelah mengalami luka tembak yang sangat parah.

Setelah akhirnya kapok melarikan diri, Suud kini menyibukkan dirinya kepada hal yang lebih bermanfaat. Di Lapas Porong, Jawa Timur, Suud kini bekerja sebagai instruktur program Admisi Orientasi. Kurang lebih, ia ditugaskan untuk menempa fisik, mental, dan kedisiplinan narapidana baru di tahap orientasi.

Tugas tersebut tak lepas dari latar belakang Suud yang merupakan pasukan elit Yon Taifib dulu. Bagaimanapun, pekerjaan ini disyukurinya baik-baik. Paling tidak, ia masih bisa berkontribusi kepada masyarakat hingga menunggu kepastian diterima atau tidaknya grasi yang ia ajukan.
Kontradiksi Prajurit “Super”

Keberadaan pasukan semacam ini bak buah simalakama. Di satu sisi kita patut berbangga dan bolehlah merasa aman karena mendapat perlindungan dari prajurit-prajurit “super” seperti mereka yang piawai dalam segala aspek di berbagai medan.

Di sisi lain, keberadaan mereka menjadi sebuah kecemasan tersendiri. Contohnya kasus pembunuhan yang dilakukan oleh Suud ini. Belum lagi rentetan bentrok atau kerusuhan yang disebabkan oleh salah satu atau beberapa unit pasukan khusus tersebut.

Meski telah mencoreng nama baik Yon Taifib, kasus yang menimpa Suud Rusli tentu tak boleh terus-menerus diasosiasikan dengan citra pasukan super tersebut. Yon Taifib, bagaimanapun, adalah salah satu pasukan khusus terbaik yang dimiliki negeri dan layak untuk kita banggakan.

sumber : boombastis

Related Posts:

MERINDING.! Kisah HOROR Perwira AURI Menghadapi Pasukan Gaib di Perang Kemerdekaan!

Patriot-Sejati  Diamika masa perang kemerdekaan 1945–1949 tidak hanya menghadirkan beragam kisah heroik. Ternyata tak sedikit kisah-kisah ‘nyeleneh’ dan bernuansa mistis yang dialami sejumlah petarung republik, seperti pengalaman serdadu AURI (Angkatan Udara Republik Indonesia, kini TNI AU) di pedalaman Trenggalek, Jawa Timur.

Alkisah dikutip dari buku ‘Sang Elang: Serangkai Kisah Perjuangan H AS Hanandjoeddin di Kancah Revolusi Kemerdekaan RI’ karya Haril M Andersen, pasukan Detasemen Udara Parigi pimpinan Opsir Muda Udara III Hanandjoeddin mengalami kejadian misterius dihadang seribu pasukan gaib.

Tempo kejadiannya pada Januari 1949 atau beberapa pekan pasca-Belanda melancarkan Agresi Militer II (19 Desember 1948). Gara-garanya, pasukan Hanandjoeddin hendak memutus sebuah jembatan tua di Lembah Watulimo dengan peledak.

Tujuannya, demi menghambat laju pergerakan tentara Belanda. Tapi ternyata dalam beberapa percobaan awal para anak buahnya, peledak yang ditanam tak kunjung meletup, hingga harus kembali untuk melapor pada Hanandjoeddin di markas.

Hanandjoeddin pun coba mendatangi seorang tokoh desa setempat untuk mengetahui, apakah memang jembatan itu ada yang “melindungi”? Ternyata iya. Hanandjoeddin pun diminta untuk puasa dan bermunajat kepada Allah SWT jika ingin kerajaan gaib yang melindungi jembatan itu bisa dipindah.

Merasa hal itu tak masuk akal, Hanandjoeddin memilih mendatangi sendiri jembatan itu bersama beberapa anak buahnya. Perasaan ‘ngeri’ mulai menghinggapi pasukannya lantaran hari juga sudah beranjak gelap.

Suasana kian mencekam dan horor saat melewati hutan Watulimo yang acap disebutkan warga lokal desa lain sebagai tempat yang angker. “Maaf, ndan (komandan) sebaiknya kita urungkan rencana malam ini,” ucap M Yahya, salah satu anak buah Hanandjoeddin.

Saat ditanya kenapa, ternyata anak buahnya pada ketakutan. “Kalau kalian takut, kembali saja ke markas! Biar saya sendiri yang pergi ke jembatan!” seru Hanandjoeddin.

Mendengar komandannya berang, anak buahnya tetap mencoba mengikuti Hanandjoeddin dari belakang. Tapi baru saja mau mengikuti, mereka sudah kabur pontang-panting karena melihat sepasukan besar berbaris menjuruskan bedil kunonya pada mereka.

Hanandjoeddin sendiri tak sadar sudah ditinggal kabur anak buahnya. Mereka yang begitu gagah pantang mundur sejengkal pun saat meladeni tentara Belanda, anehnya langsung ‘ngacir’ saat dihadang tentara berseragam militer jawa kuno yang terkesan gaib.

Sementara Hanandjoeddin yang meneruskan langkahnya, baru sadar dia ditinggal sendiri saat dikepung seribu pasukan misterius itu. Kendati sempat merinding, namun Hanandjoeddin memberanikan diri berseru kepada pasukan gaib itu setelah sejenak beristighfar.

“Assalamualaikum! Saya Hanandjoeddin, Komandan Pertahanan di wilayah Watulimo. Kami bermaksud baik menyelamatkan rakyat dan alam daerah ini dari penjajah Belanda. Bantulah perjuangan kami menegakkan kemerdekaan Indonesia. Saya yakin kalian di pihak kami karena perjuangan sudah dilakukan sejak zaman nenek moyang, sejak zaman Sultan Agung Raja Mataram. Kami hanya melanjutkan cita-cita Beliau. Saya meminta kalian memaklumi kami memutus jembatan penghubung desa ini demi keselamatan rakyat Watulimo. Terima kasih atas pengertiannya, Assalamualaikum!”

Tak lama setelah seruan itu, pasukan gaib tersebut sekonyong-konyong hilang. Esoknya, anak buah Hanandjoeddin melanjutkan upaya peledakan jembatan. Uniknya dalam percobaan pertama, bom yang dirakit dan ditanam meledak dan langsung merobohkan jembatan tua tersebut.

sumber : okezone.com

Related Posts:

Kisah Pilu Mbah DJUWARI. Sang Pemikul Tandu Jendral SUDIRMAN yang TERLUPAKAN!

Jenderal Soedirman adalah pahlawan yang mempunyai andil besar dalam kemerdekaan Indonesia. Nama besarnya bahkan tersohor sampai mancanegara. Perjuangan Jenderal Soedirman tidak akan terwujud tanpa jasa-jasa para pengikutnya yang rela memikul tandunya.

Di antara sekian banyak pengikut Jenderal Soedirman, tersebutlah seorang pria bernama Djuwari, sosok pemikul tandu Panglima Besar Jenderal Soedirman yang terlupakan dari sejarah Indonesia.

Melihat sosok Djuwari kini, tak terlihat bahwa dia adalah pemuda 21 tahun yang sempat memanggul Panglima Besar saat berperang gerilya melawan Belanda pada 1948.

Berperawakan kurus, Djuwari yang tinggal di Dusun Goliman, Kediri, Jawa Timur itu hidup dengan keadaan memprihatinkan. Bahkan kediamannya itu belum dilengkapi lantai. Namun terlepas dari keadaannya kini, ia masih ingat ketika dia memanggul tandu Pak Dirman (panggilannya kepada sang Jenderal) dengan rasa bangga.

Perjalanannya bermula ketika mengantar gerilya Jenderal Soedirman pada suatu pagi dengan tiga temannya, Karso, Warto, dan Joyodari menuju Dusun Magersari, Desa Bajulan, Kecamatan Loceret, Kabubaten Ngajuk, Jawa Timur. Namun rute yang ditempuhnya tidaklah mudah, ia harus melewati medan berbukit-bukit dan hutan yang lebat.

Dalam perjalanan itu, Panglima Soedirman dikawal oleh Tjokro Pranolo, Supardjo Rustam, Suwondo, dan Heru Tjokro bersama pasukan bersenjata lainnya. Djuwari mengaku sangat bahagia karena dalam perjalanannya ditemani oleh ketiga temannya, dan mendapatkan hadiah pula dari sang Jenderal, yakni sebuah kain panjang.

Walau hanya seorang penandu, Djuwari mengaku senang ikut berjuang demi kemerekaan. Semua dilakukannya dengan rasa ikhlas tanpa berharap imbalan sedikitpun. Dari empat warga Dusun Goliman yang pernah memanggul tandu Panglima Besar, hanya Djuwari seorang yang masih hidup.

Putra Kastawi dan Kainem itu masih memiliki kisah dan semangat masa-masa perang kemerdekaan. Sedangkan tandu yang dulu dipergunakan untuk memanggul Panglima Sudirman dalam Perang Gerilya mengusir penjajah, sekarang tersimpan rapi di Museum Satria Mandala.

Sumber : Malangraya

Related Posts:

Detik-Detik DRAMATIS Pengangkatan Jenazah Pahlawan Revolusi dari Lubang Buaya!

Mengangkat jenazah tujuh pahlawan revolusi di Lubang Buaya bukan perkara gampang. Kondisi sumur yang dalam dan mayat yang mulai membusuk, membuat evakuasi sulit dilakukan.

Tapi para prajurit Kompi Intai Amfibi Korps Komando Angkatan Laut (KIPAM KKO-AL), tak mau menyerah. Sebenarnya jenazah sudah ditemukan sejak sehari sebelumnya, yaitu pada tanggal 3 Oktober 1965, atas bantuan polisi Sukitman dan masyarakat sekitar.

Peleton I RPKAD yang dipimpin Letnan Sintong Panjaitan segera melakukan penggalian. Tapi mereka tak mampu mengangkat jenazah karena bau yang menyengat. Jenderal Soeharto pun memerintahkan kepada pasukan evakuasi bahwa penggalian dihentikan pada malam hari. Maka penggalian pun ditunda dan penggalian akan kembali dilanjutkan keesokan harinya.

Dalam buku Sintong Panjaitan, "Perjalanan Seorang Prajurit Para Komando" yang ditulis wartawan senior Hendro Subroto, dilukiskan peristiwa seputar pengangkatan jenazah.

Kala itu Sintong berdiskusi dengan Kopral Anang, anggota RPKAD yang dilatih oleh Pasukan Katak TNI AL. Anang mengatakan peralatan selam milik RPKAD ada di Cilacap, hanya KKO yang punya peralatan selam di Jakarta. Maka singkat cerita, KKO meminjamkan peralatan selam tersebut untuk operasi pengangkatan jenazah dari dalam lubang sumur di daerah lubang buaya tersebut.

Tanggal 4 Oktober, Tim KKO dipimpin oleh Komandan KIPAM KKO-AL Kapten Winanto melakukan evakuasi jenazah pahlawan revolusi. Satu persatu pasukan KKO turun ke dalam lubang yang sempit itu. Pukul 12.05 WIB, anggota RPKAD Kopral Anang turun lebih dulu ke Lubang Buaya. Dia mengenakan masker dan tabung oksigen. Anang mengikatkan tali pada salah satu jenazah. Setelah ditarik, yang pertama adalah jenazah Lettu Pierre Tendean, ajudan Jenderal Nasution.

Pukul 12.15 WIB, Serma KKO Suparimin turun, dia memasang tali pada salah satu jenazah, tapi rupanya jenazah itu tertindih jenazah lain sehingga tak bisa ditarik.

Pukul 12.30 WIB, giliran Prako KKO Subekti yang turun. Dua jenazah berhasil ditarik, Mayjen S Parman dan Mayjen Suprapto.

Pukul 12.55 WIB, Kopral KKO Hartono memasang tali untuk mengangkat jenazah Mayjen MT Haryono dan Brigjen Sutoyo.

Pukul 13.30 WIB, Serma KKO Suparimin turun untuk kedua kalinya. Dia berhasil mengangkat jenazah Letjen Ahmad Yani. Dengan demikian, sudah enam jenazah pahlawan revolusi yang ditemukan.
Sebagai langkah terakhir, harus ada seorang lagi yang turun ke sumur untuk mengecek apakah sumur sudah benar-benar kosong.

Tapi semua penyelam KKO dan RPKAD sudah tak ada lagi yang mampu masuk lagi. Mereka semua kelelahan. Bahkan ada yang keracunan bau busuk hingga terus muntah-muntah. Maka Kapten Winanto sebagai komandan terpanggil melakukan pekerjaan terakhir itu. Dia turun dengan membawa alat penerangan.
Ternyata benar, di dalam sumur masih ada satu jenazah lagi. Jenazah itu adalah Brigjen D.I. Panjaitan.

Dengan demikian lengkaplah sudah jenazah enam jenderal dan satu perwira pertama TNI AD yang dinyatakan telah hilang diculik Gerakan PKI pada tanggal 30 September 1965. Kapten KKO Winanto sendiri terus melanjutkan karirnya di TNI AL. Kapten Winanto terakhir berpangkat Mayor Jenderal KKO (Purn).

Ia lahir di Solo, Jawa Tengah pada tanggal 6 Maret 1935. Tentara lulusan Akademi Angkatan laut tahun 1959 ini pernah menjabat Komandan Resimen Latihan Korps Marinir, Komandan Brigade Infanteri 2/Marinir sebelum pensiun sebagai Gubernur AAL.

Ia meninggal pada Minggu, 2 September 2012 pukul 22.15 WIB dalam usia 77 tahun di kediamannya Jl Pramuka no 7, Kompleks TNI AL, Jakarta Pusat. Jenazahnya dimakamkan dengan upacara militer di San Diego Hills, Karawang, Jawa Barat.

Kronologi Visum et Epertum Dokter Forensik

4 Oktober 1965. Pukul 4.30 sore saat itu. Lima dokter yang diperintahkan Pangkostrad dan Pangkopkamtib Mayor Jenderal Soeharto memulai tugas mereka. Jenazah enam Jenderal dan satu perwira menengah korban penculikan dan pembunuhnan yang dilakukan kelompok Letkol Untung pada dinihari 1 Oktober mereka periksa satu persatu. Ketujuh korban itu adalah:

1. Ahmad Yani, Letnan Jenderal (Menteri Panglima Angkatan Darat).
2. R. Soeprapto, Mayor Jenderal. (Deputi II Menpangad).
3. MT. Harjono, Mayor Jenderal. (Deputi III Menpangad).
4. S. Parman, Mayor Jenderal. (Asisten I Menpangad).
5. D. Isac Panjaitan, Brigardir Jenderal. (Deputi IV Menpangad).
6. Soetojo Siswomihardjo, Brigardir Jenderal. (Oditur Jenderal/ Inspektur Kehakiman AD).
7. Pierre Andreas Tendean, Letnan Satu. (Ajudan Menko Hankam/ KASAB Jenderal AH Nasution).
Jenazah enam jenderal dan satu perwira muda Angkatan Darat ini ditemukan di sebuah sumur tua di desa Lubang Buaya, Pondokgede, Jakarta Timur. Dari lima anggota tim dokter yang mengautopsi ketujuh mayat itu dua di antaranya adalah dokter Angkatan Darat, yakni:

1. dr. Brigardir Jenderal Roebiono Kertopati (perwira tinggi yang diperbantukan di RSP Angkatan Darat)
2. dr. Kolonel Frans Pattiasina (perwira kesehatan RSP Angkatan Darat)
Sementara tiga lainnya adalah dokter Kehakiman, masing-masing:
3. Prof. dr. Sutomo Tjokronegoro (ahli Ilmu Urai Sakit Dalam dan ahli Kedokteran Kehakiman, juga profesor di FK UI)
4. dr. Liauw Yan Siang (lektor dalam Ilmu Kedokteran Kehakiman FK UI)
5. dr. Liem Joe Thay (atau dikenal sebagai dr. Arief Budianto, lektor Ilmu Kedokteran Kehakiman Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (FK-UI), Akhirnya lewat tengah malam, pukul 12.30 atau dinihari pada tanggal 5 Oktober 1965, dr. Roebiono dkk menyelesaikan tugas mereka.

Beberapa jam kemudian, saat matahari sudah cukup tinggi, ketujuh jenazah korban penculikan dan pembunuhan yang kemudian disebut sebagai Pahlawan Revolusi ini, dimakamkan di TMP Kalibata.

sumber : rakalive1 

Silahkan di share

Related Posts:

Inilah Kisah Dramatis Jendral Besar AH Nasution Lolos dari Penculikan PKI!

Jendral AH Nasution dan DN Aidit
patriot-negeri : Jendral Besar TNI Abdul Haris (AH) Nasution, lahir di Kotanopan, Sumatera Utara, 3 Desember 1918. Dia merupakan seorang pahlawan nasional Indonesia yang menjadi sasaran dalam peristiwa Gerakan 30 September 1965 (G30S/PKI).  
Dia berhasil selamat, namun putrinya Ade Irma Suryani Nasution dan ajudannya, Lettu Pierre Tendean, menjadi korban penculikan PKI.

Kisah Nasution di dunia militer dimulai pada 1940, saat Jerman Nazi berhasil menduduki Belanda dan pemerintah kolonial Belanda membentuk korps perwira cadangan yang menerima orang Indonesia.

Nasution kemudian bergabung, karena ini adalah satu-satunya cara untuk mendapatkan pelatihan militer. Seiring dengan beberapa orang Indonesia lainnya, ia dikirim ke Akademi Militer Bandung untuk pelatihan.

Pada September 1940 ia dipromosikan menjadi kopral, tiga bulan kemudian menjadi sersan. AH Nasution, kemudian menjadi seorang perwira di Koninklijk Nederlands-Indische Leger (KNIL).

Pada 1942, Jepang menyerbu dan menduduki Indonesia. Pada saat itu, Nasution di Surabaya. Penempatannya di sana untuk mempertahankan pelabuhan. Nasution kemudian menemukan jalan kembali ke Bandung dan bersembunyi, karena ia takut ditangkap oleh Jepang. Namun, ia membantu milisi PETA yang dibentuk oleh penjajah Jepang dengan membawa pesan, tetapi tidak benar-benar menjadi anggota.

Setelah Presiden Sukarno memproklamasikan kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945, Nasution bergabung dengan militer Indonesia yang kemudian dikenal sebagai Tentara Keamanan Rakyat (TKR).

Pada bulan Mei 1946, ia diangkat Panglima Regional Divisi Siliwangi, yang memelihara keamanan Jawa Barat. Dalam posisi ini, Nasution mengembangkan teori perang teritorial yang akan menjadi doktrin pertahanan Tentara Nasional Indonesia di masa depan.

Pada Januari 1948, Pemerintah Indonesia dan Pemerintah Belanda menandatangani Perjanjian Renville, membagi Jawa antara daerah yang dikuasai Belanda dan Indonesia. Karena wilayah yang diduduki oleh Belanda termasuk Jawa Barat, Nasution dipaksa untuk memimpin Divisi Siliwangi menyeberang ke Jawa Tengah.

Selanjutnya, pada 1948 Nasution naik ke posisi Wakil Panglima TKR. Meskipun hanya berpangkat Kolonel, penunjukan ini membuat Nasution menjadi orang paling kuat kedua di TKR, setelah Jenderal Soedirman.

Nasution segera pergi untuk bekerja dalam peran barunya. Pada bulan April, ia membantu Soedirman mereorganisasi struktur pasukan. Pada bulan Juni, pada sebuah pertemuan, saran Nasution bahwa TKR harus melakukan perang gerilya melawan Belanda disetujui. Meski bukanlah Panglima TKR, Nasution memperoleh pengalaman peran sebagai Panglima Angkatan Bersenjata pada bulan September 1948 saat Peristiwa Madiun.

Pada 1 Oktober 1965, pasukan yang menyebut diri mereka Gerakan 30 September (G30S) mencoba menculik tujuh perwira Angkatan Darat antikomunis termasuk Nasution. Letnan Arief yang memimpin pasukan untuk menangkap Nasution, dan timnya yang terdiri dari empat truk dan dua mobil militer berjalan menyusuri Jalan Teuku Umar yang sepi pada pukul 04.00 WIB pagi. Rumah Nasution di Jalan Teuku Umar Nomor 40. Saat tiba, para penjaga rumah Nasution tak curiga dengan kedatangan mereka karena menggunakan pakaian layaknya tentara pada umumnya.

Sersan Iskaq, yang bertanggung jawab menjaga rumah saat itu sedang berada di ruang jaga yang terletak di ruang depan bersama beberapa tentara. Sedangkan, beberapa di antaranya sedang tidur. Dua ajudan Nasution yakni Letnan Muda Pierre Tendean dan Ajun Komisaris Polisi Hamdan Mansjur pun sedang tertidur.

Sebelum alarm menyala, pasukan Letnan Arief telah melompat pagar dan menguasai para penjaga yang mengantuk di pos jaga dan ruang jaga. Lainnya masuk dari seluruh sisi rumah dan menutupinya dari belakang. Sekitar lima belas tentara masuk ke rumah.

Nasution dan istrinya terganggu oleh nyamuk dan terjaga. Mereka tidak mendengar para penjaga yang telah dikuasai tapi Nyonya Nasution mendengar pintu dibuka paksa. Dia bangkit dari tempat tidur untuk memeriksa dan membuka pintu kamar tidur, ia melihat tentara Cakrabirawa (pengawal presiden) dengan senjata siap menembak.

Dia menutup pintu dan berteriak memberitahu suaminya. Nasution ingin melihatnya dan ketika dia membuka pintu, tentara menembak ke arahnya. Dia melemparkan dirinya ke lantai dan istrinya membanting dan mengunci pintu. Orang-orang di sisi lain mulai menghancurkan pintu bawah dan melepaskan tembakan-tembakan ke kamar tidur.

Nyonya Nasution mendorong suaminya keluar melalui pintu lain dan menyusuri koridor ke pintu samping rumah. Nasution berlari ke halaman rumahnya menuju dinding yang memisahkan halamannya dengan Kedutaan Besar Irak. Dia ditemukan oleh tentara yang kemudian menembaknya tapi meleset. Memanjat dinding, Nasution mengalami patah pergelangan kaki saat ia jatuh ke halaman Kedutaan Irak untuk bersembunyi.

Seluruh penghuni rumah terbangun dan ketakutan oleh penembakan itu. Ibu dan adik Nasution, Mardiah, juga tinggal di rumah dan berlari ke kamar tidur Nasution. Mardiah membawa putri Nasution Ade Irma Suryani Nasution (5) dari tempat tidurnya, memeluk erat anak itu dalam pelukannya, dan mencoba lari ke tempat aman.

Saat ia berlari, seorang kopral dari penjaga istana melepaskan tembakan ke arahnya melalui pintu. Irma tertembak dan menerima tiga peluru di punggungnya. Dia meninggal lima hari kemudian di rumah sakit. Sementara putri sulung Nasution, Hendrianti Saharah (13) dan perawatnya Alfiah sudah lari ke rumah pondok ajudan Nasution dan bersembunyi di bawah tempat tidur.

Tendean mengambil senjatanya dan lari dari rumah, tapi ia tertangkap dalam beberapa langkah. Dalam kegelapan, ia membuat kesalahan dan sudah berada di bawah todongan senjata. Setelah mendorong suaminya keluar rumah, Nyonya Nasution lari ke dalam dan membawa putrinya yang terluka.

Saat ia menelepon dokter, pasukan Cakrabirawa menuntutnya agar memberitahu mereka di mana keberadaan suaminya. Kabarnya dia melakukan percakapan singkat sambil marah-marah dengan Arief dan mengatakan kepadanya bahwa Nasution sedang keluar kota selama beberapa hari. Pasukan itu pun pergi dari rumah Nasution dan membawa Tendean pergi dengan mereka.

Nasution terus bersembunyi di halaman tetangganya sampai pukul 06.00 WIB ketika ia kembali ke rumahnya dalam keadaan patah pergelangan kaki. Nasution kemudian meminta ajudan untuk membawanya ke Departemen Pertahanan dan Keamanan karena dia pikir itu akan lebih aman di sana. Nasution kemudian mengirim pesan kepada Soeharto di markas Kostrad, mengatakan kepadanya bahwa ia masih hidup dan aman.

Setelah mengetahui bahwa Soeharto mengambil alih komando tentara, Nasution kemudian memerintahkan dia untuk mengambil langkah-langkah seperti mencari tahu keberadaan presiden, menghubungi Panglima Angkatan Laut RE Martadinata, Komandan Korps Marinir R Hartono serta Kepala Kepolisian Soetjipto Joedodihardjo, dan mengamankan Jakarta dengan menutup semua jalan yang mengarah ke sana.

Angkatan Udara tidak termasuk karena Panglima Omar Dhani dicurigai sebagai simpatisan G30S. Soeharto segera mengintegrasikan perintah tersebut ke dalam rencananya untuk mengamankan kota.

Sekira pukul 14.00 WIB, setelah Gerakan 30 September mengumumkan pembentukan Dewan Revolusi, Nasution mengirim perintah lain untuk Soeharto, Martadinata dan Joedodihardjo. Dalam rangka itu, Nasution mengatakan bahwa ia yakin Soekarno telah diculik dan dibawa ke markas G30S di Halim. Dia langsung memerintahkan ABRI untuk membebaskan Presiden, memulihkan keamanan Jakarta, dan yang paling penting, menunjuk Soeharto sebagai kepala operasi.

Namun, pesan datang dari Soekarno di Halim. Soekarno telah memutuskan untuk menunjuk loyalisnya, Mayjen Pranoto Reksosamodra untuk mengisi posisi Panglima Angkatan Darat dan diminta menemuinya. Soeharto tidak mengijinkan Pranoto pergi tapi ia tahu bahwa Soekarno tidak akan menyerah untuk mencoba memanggil Pranoto. Untuk memperkuat posisi tawar, Soeharto meminta Nasution untuk datang ke Markas Kostrad.

Nasution tiba di markas Kostrad sekitar pukul enam sore, Soeharto mulai mengerahkan pasukan Sarwo Edhie Wibowo untuk mengamankan Jakarta dari Gerakan 30 September. Di sana, Nasution akhirnya menerima pertolongan pertama untuk pergelangan kakinya yang patah. Setelah Jakarta aman, Martadinata datang ke markas Kostrad dengan salinan Keputusan Presiden yang menunjuk Pranoto. Setelah melihat keputusan tersebut, Soeharto mengundang Martadinata dan Nasution ke ruangan untuk membahas situasi.

Nasution meminta Martadinata bagaimana caranya presiden datang untuk menunjuk Pranoto. Martadinata menjawab bahwa pada sore hari ia, Joedodihardjo, dan Dhani telah menghadiri pertemuan dengan Soekarno di Halim untuk memutuskan siapa yang harus menjadi Panglima Angkatan Darat setelah Yani tewas.

Pertemuan telah memutuskan bahwa Pranoto harus menjadi Panglima Angkatan Darat. Nasution mengatakan bahwa penunjukan Soekarno tidak dapat diterima karena penunjukan datang ketika Soeharto telah memulai operasi. Nasution dan Soeharto kemudian mengundang Pranoto dan meyakinkannya untuk menunda menerima pengangkatannya sebagai Panglima Angkatan Darat sampai setelah Soeharto selesai menumpas percobaan kudeta.

Dengan pasukan Sarwo Edhie, Jakarta dengan cepat berhasil diamankan. Soeharto kemudian mengalihkan perhatiannya ke Halim dan mulai membuat persiapan untuk menyerang pangkalan udara. Nasution memerintahkan angkatan laut dan polisi untuk membantu Soeharto dalam menumpas Gerakan 30 September.

Untuk angkatan udara, Nasution mengeluarkan perintah mengatakan bahwa mereka tidak akan dihukum atas pembangkangan jika mereka menolak untuk mematuhi perintah Panglima Angkatan Udara Laksamana Udara Omar Dhani. Pada pukul 06.00 WIB tanggal 2 Oktober, Halim berhasil diambil alih dan Gerakan 30 September secara resmi dikalahkan.

Pada 5 Oktober 1997, bertepatan dengan hari ABRI, Nasution dianugerahi pangkat Jenderal Besar bintang lima. Nasution tutup usia di RS Gatot Soebroto pada 6 September 2000, dan dimakamkan di TMP Kalibata, Jakarta.

sumber : http://news.okezone.com/read/2014/10/07/337/1048948/kisah-nasution-selamat-dari-penculikan-pki 

Silahkan di share

Related Posts: